Bersyukur ketika Dikritik

kritiknya benar, tetapi caranya tidak enak. Contohnya, “Eh, Ustaz! Pakai itu otak, masa ceramahnya itu lagi? Bosan dong! Kalau nggak punya ide baru,



Kalau ada orang yang mengkritik, kita biasanya akan langsung melihat wajah orang tersebut layaknya wajah yang menyebalkan. Bahkan, belum apa-apa, bisa jadi hati kita sudah terasa sesak. Misalkan, seorang rekan mengatakan, “Kang, nanti malam kita ketemuan ya, saya mau ngasih kritik.” Maka kita berusaha sekuat tenaga agar malam itu tidak bertemu.
 
Memang, kritik atau masukan itu ada empat jenis, yaitu:
 
Pertama, kritiknya atau isinya benar dan caranya bagus. Ini yang paling baik. Contohnya, “Kang, maaf ya. Setelah saya simak ceramah Akang, entah bagaimana saya merasa ada kesan riya dan sombongnya, serta banyak gurauan yang tidak manfaat. Kalau bisa, tolong direnungkan. Mungkin masukan saya tidak benar, tetapi itu yang saya rasakan.” Penyampaian kritiknya manis kalau yang begini.
 
Kedua, kritiknya benar, tetapi caranya tidak enak. Contohnya, “Eh, Ustaz! Pakai itu otak, masa ceramahnya itu lagi? Bosan dong! Kalau nggak punya ide baru, berhenti dulu aja. Coba tanya yang lain, semuanya juga bosan ngomong-nya itu terus. Ah, pokoknya sudah mual saya lihat Ustaz!” Cara ini memang tidak enak. Tapi kalau kita mau bertafakur, boleh jadi kritiknya benar.
 
Ketiga, caranya baik, tetapi isinya salah. Misalnya, “Maaf, Ustaz. Tadi waktu ngaji saya ketinggalan dompet. Saya lihat tadi Ustaz megang-megang dompet. Saya tidak menuduh Ustaz maling, tetapi kalau bisa tolong kembalikan.” Kritik semacam ini caranya memang sopan, tetapi isinya menyangka kita copet.
 
Adapun yang keempat, isi dan caranya sama-sama tidak benar. Kalau mau, contohnya kita buat dalam hati dan ditujukan kepada diri kita sendiri.
 
Semua bentuk kritik tersebut, bahkan yang isi dan caranya tidak benar sekali pun, sebetulnya tidak berbahaya bagi kita. Hal yang berbahaya adalah kalau kita salah dalam menyikapinya.
 
Kritik itu bagaimana pun pasti bermanfaat kalau kita mau mengemasnya dengan baik dan benar. Kita sudah sepakat bahwa yang menjadi masalah bukanlah soal, tetapi sikap kita terhadap soal tersebut. Orang tidak lulus ujian bukan karena soalnya, tetapi karena salah jawabannya.
 
Tidak semua orang sanggup untuk jujur kepada dirinya sendiri. Kita memerlukan orang lain yang membantu syariatnya supaya kita tahu apa kekurangan diri kita dan untuk diperbaiki. Kekurangan atau keburukan itulah bahaya terbesar dalam hidup kita. Tidak ada yang akan mencelakakan kita selain dosa atau penyakit kita sendiri.
 
Jadi, apapun bentuk kritik orang terhadap kita, tidaklah bahaya. Mau sekaligus keempat jenis kritik tadi disampaikan kepada kita misalnya, tetap tidak bahaya. Yang berbahaya adalah penyakit kita sendiri.
 
Oleh sebab itu, kita harus mengawalinya dengan tekad, “Tiada yang paling penting dalam hidup kecuali saya harus tahu kekurangan diri dan harus segera memperbaikinya. Mengetahui kekurangan dan segera memperbaikinya adalah keberuntungan saya. Itulah rezeki saya, terlepas dari siapapun dan bagaimana pun cara dia memberi tahu. Semoga dengan segera memperbaiki diri, hidup saya diterima oleh Allah Ta’ala.”
 
Ibarat pergi ke dokter. Kita akan diberi tahu oleh dokter apa obat untuk sakit kita dan akan diobati. Sebanyak apapun tenaga yang harus keluar dan berapapun uang yang dibutuhkan kita akan mengupayakan untuk mencarinya.
 
Orang yang mengkritik kita itu seperti dokter yang mengobati. Kita tidak perlu takut kepadanya. Layaknya kepada dokter, kita pun tidak perlu dikritik karena kritik itu bukan bahaya. Sebaliknya, kita dengarkan dan ucapkan terima kasih kepada dia yang sudah bersusah-payah memberi tahu penyakit kita. Seharusnya, kita segera memperbaiki diri dan bersyukur kepada Allah yang telah menggerakkan orang untuk mengkritik kita. 

Share this

Related Posts