Jujur Menjemput Rezeki

Jangan main-main soal uang atau rezeki. Apa pun bentuknya, rezeki kita sudah ada dan lengkap. Kalau tidak jujur dan sabar, status rezeki kita bisa berubah menjadi haram.



Saudaraku. Saya pernah mendengar kisah tentang Ali bin Abi Thalib. Suatu waktu beliau menitipkan kuda, lalu pergi ke rumah mengambil uang tiga dirham sebagai imbalan kepada pemuda yang dititipkan kuda. Ketika beliau kembali, yang ada hanya kudanya. Sedangkan si pemuda sudah pergi dan membawa (mencuri) tali kuda.
 
Kemudian Sayyidina Ali pergi ke tempat orang berjualan tali untuk membeli tali pengganti. Ternyata di situ ditemukan tali kudanya. Orang yang berjualan berkata, “Saya tidak tahu, baru saja ada yang menjualnya.” Beliau bertanya, “Berapa dia menjualnya?” “Tiga dirham,” jawab si pedagang. Maka beliau berkata, “Hampir saja dia mendapat tiga dirham dalam keadaan halal, tapi dia tidak sabar sehingga dia mendapat tiga dirham dalam keadaan haram.”
 
Nah, saudaraku. Jangan main-main soal uang atau rezeki. Apa pun bentuknya, rezeki kita sudah ada dan lengkap. Kalau tidak jujur dan sabar, status rezeki kita bisa berubah menjadi haram. Apa yang untuk kita pasti akan bertemu, dan tidak akan meleset. Karena kita tidak disuruh mencari, tapi disuruh menjemput rezeki. Kalau mencari itu antara ada dan tiada, sedangkan menjemput sudah pasti ada.
                                                             
Jadi, kalau saudara belum bertemu rezeki, bukan berarti ia tidak ada. Tapi, boleh jadi kurang benar ketika menjemputnya. Kita disuruh menjemput rezeki. Sedangkan yang harus kita cari, dalam ikhtiar menjemput itu adalah keberkahannya.
 
Ketika misalnya kita berdagang, transaksi jual-beli yang dilakukan bisa tetap berlangsung. Pedagang mendapat uang, pembeli juga mendapatkan barang yang diinginkan. Tapi, keberkahannya tidak ada bila tidak jujur. Kalau berkahnya tidak ada, maka pasti masalah yang datang. Bisa galau, tidak tenang, tidak bahagia, diberi untuk makan keluarga bermasalah. Pokoknya repot kalau tidak berkah.
 
Dari Abu Khalid bin Hakim bin Hijam, beliau berkata, Rasulullah saw bersabda, “Penjual dan pembeli dalam keleluasaan memilih selama keduanya belum berpisah. Apabila keduanya bersikap jujur, diberkahilah jual-beli keduanya. Jikalau keduanya menyembunyikan cacat barang dan sama-sama berdusta, dihapuslah keberkahan jual-beli mereka.” (HR. Bukhari Muslim)
 
Baik penjual maupun pembeli, kalau berbohong bisa dihapus keberkahan uang atau barang yang didapatkan. Oleh sebab itu, kita tidak perlu berbohong agar punya banyak uang. Yang penting cukup, dan kita jujur dalam menjemputnya. Supaya apa pun bentuk rezeki yang kita jemput akan didapati keberkahan.
 
Orang-orang yang imannya bagus pasti jujur. Sebab, iman dan jujur itu satu paket. Tidak ada iman bagi orang yang tidak jujur. Kita yakin bahwa Allah Maha Mengetahui. “Dan rahasiakanlah perkataanmu atau nyatakanlah. Sungguh, Dia Maha Mengetahui segala isi hati.” (QS. al-Mulk [67]: 13). Tidak pernah bisa berbohong di hadapan Allah SWT.
 
Pembohong itu adalah orang yang kurang iman. Misalkan kita berbohong, dan orang bisa kita bohongi. Maka terbohonginya orang itu bukan dikarenakan kita jago berbohong. Orang masih percaya pada kebohongan kita, hanya karena Allah masih menutupi. Ada gilirannya Allah akan membuka, dan pasti terbuka.
 
Sama sekali tidak ada kebaikan bagi seorang pembohong. Setiap kebohongan pasti menghasilkan kebohongan lainnya, dan tidak bisa ditutupi dengan kebaikan. Hidupnya pun sudah pasti tidak tenang.
 
Makanya, bagi kita jadi orang jujur sajalah. Baik dalam menjemput rezeki, lebih lagi dalam mengakui dosa-dosa kita kepada Allah. Kalau dengan jujur misalnya dagangan kita tidak jadi dibeli, dimarahi, dihina, ditolak bekerja, dipecat, diusir calon mertua, maupun dibatalkan pernikahan, maka yang begitu tidaklah berbahaya. Yang pasti berbahaya adalah kita dilaknat Allah karena tidak jujur.

Share this

Related Posts